Dispepsia: Pengertian, Gejala &Amp; Pengobatan

Dipublish tanggal: Feb 22, 2019 Update terakhir: Okt 12, 2020 Tinjau pada Jun 13, 2019 Waktu baca: 4 menit
Dispepsia: Pengertian, Gejala &Amp; Pengobatan

Di dalam masyarakat penyakit dispepsia sering disamakan dengan penyakit maag, dikarenakan terdapat kesamaan gejala antara keduanya. Hal ini sebenarnya kurang tepat, karena kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang berarti lambung.

Sedangkan kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu “dys” yang berarti buruk dan “peptei “ yang berarti pencernaan, jadi dispepsia berarti pencernaan yang buruk.

Istilah dispepsia mulai sering digunakan sejak akhir tahun 1980-an, merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan yang tidak nyaman atau nyeri pada perut bagian atas atau dada bagian bawah.

Hampir semua orang pernah mengalami dispepsia, setidaknya satu kali dalam masa hidupnya, baik laki-laki maupun perempuan semuanya dapat mengalami gejala ini. Pada artikel ini akan dijelaskan apa itu dispepsia dan bagaimana dispepsia bisa terjadi.

Pengertian dan Gejala Dispepsia

Dispepsia adalah sekumpulan gejala berupa nyeri, perasaan tidak enak pada perut bagian atas yang menetap atau berulang disertai dengan gejala lainnya seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, kembung, bersendawa, nafsu makan menurun, mual, muntah, dan dada terasa panas yang telah berlangsung sejak 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul dalam 6 bulan sebelumnya.

Gejala – gejala tersebut dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit maag, namun penyebabnya tidak harus selalu oleh penyakit maag, oleh karena itu dalam medis untuk menggambarkan sekumpulan gejala tersebut digunakanlah istilah sindrom dispepsia.

Berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu :

  • Dispepsia tipe organik apabila dispepsia diketahui penyebabnya dengan jelas yaitu ditemukannya kelainan organ misalnya maag kronis, tukak lambung, kanker lambung, batu empedu, liver, dan penyebab lainnya.
  • Dispepsia tipe fungsional apabila dispepsia tidak diketahui penyebabnya, dan tidak didapati kelainan pada pemeriksaan saluran pencernaan sederhana, atau tidak ditemukannya kelainan organ. Ada kemungkinan bahwa dispepsia jenis ini berhubungan dengan gangguan pada motilitas (pergerakan) saluran pencernaan bagian atas mulai dari kerongkongan, lambung hingga usus halus bagian atas.

Berdasakarkan gejala dominan yang muncul dispepsia dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

  • Dispepsia tipe ulkus apabila keluhan yang dominan adalah nyeri ulu hati.
  • Dispepsia tipe dismotilitas apabila keluhan yang dominan adalah perut kembung, mual dan cepat kenyang.
  • Dispepsia tipe nonspesifik apabila keluhan tidak jelas untuk dikelompokkan pada salah satu jenis di atas.

Patofisiologi Dispepsia

Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan masih menjadi salah satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan, termasuk dispepsia, namun bagaimana dispepsia ini bisa terjadi hingga saat ini masih belum sepenuhnya dimengerti dan penelitian-penelitian yang ada masih terus dilakukan terhadap faktor - faktor yang dicurigai berperan dalam menyebabkan dispepsia adalah sebagai berikut:

  • Gangguan pergerakan saluran pencernaan seperti gangguan pengosongan dan pengembangan lambung  dapat menyebabkan terjadinya gangguan penyaluran makanan ke usus halus. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya keluhan rasa penuh saat makan, cepat kenyang, mual dan muntah.
  • Saluran pencernaan yang terlalu sensitif terutama lambung dan usus halus terhadap rangsangan pengembangan lambung, asam lambung, asam empedu, dan lemak dapat mengakibatkan timbulnya keluhan nyeri setelah makan, bersendawa, dan mual.
  • Pengeluran asam lambung yang berlebihan dan gangguan pembersihan asam lambung menuju duodenum dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada lambung yang menimbulkan keluhan nyeri pada ulu hati
  • Stres, gangguan cemas dan depresi telah dilaporkan berhubungan dengan penurunan kontraksi lambung dan peningkatan pengeluaran asam lambung oleh karena itu semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk mengalami dispepsia
  • Infeksi lambung Helicobacter pylori mungkin mempengaruhi terjadinya kelainan-kelainan pada lambung dan tingkat keparahan gejala dispepsia namun masih belum dapat disimpulkan dengan pasti hubungan yang kuat diantaranya.

Pengobatan Dispepsia

Pengobatan akan tergantung pada penyebab dispepsia, penggunaan obat adalah pengobatan yang paling umum diterapkan. Jika ternyata ada ulkus lambung, maka itu bisa disembuhkan dengan meminum obat maag penurun asam lambung seperti antasida, ranitidin, lansoprazole dan omeprazole. Jika disertai dengan infeksi lambung, maka diperlukan juga antibiotik untuk membunuh bakteri penyebab.

Apakah obat-obatan untuk dispepsia memiliki efek samping?

Obat-obatan untuk dispepsia paling sering hanya memiliki efek samping ringan yang akan hilang sendiri. Beberapa obat bisa membuat tinja berwarna hitam, sakit kepala, mual atau diare. Ingatlah untuk mengambil obat seperti sesuai petunjuk dokter. Jika Anda diresepkan antibiotik, maka habiskanlah, bahkan ketika Anda mulai merasa lebih baik.

Ubah Pola Hidup

  • Makan sedikit-sedikit tapi sering, bukan dua atau tiga kali dalam porsi besar.
  • Setelah makan, tunggu 2-3 jam sebelum berbaring. Jangan makan terlalu larut malam.
  • Hindari coklat, mint, dan alkohol karena dapat memperburuk dispepsia.
  • Makanan pedas, makanan yang memiliki banyak asam (seperti tomat dan jeruk), dan kopi dapat membuat dispepsia lebih buruk pada beberapa orang. Maka sebisa mungkin handarilah
  • Jangan merokok atau mengunyah tembakau.
  • Jangan mengenakan pakaian ketat di sekitar perut.
  • Hindari stress, baca juga: stress penyebab dispepsia.
  • Tidak mengonsumsi banyak obat anti-inflamasi seperti ibuprofen, aspirin, naproxen dan ketoprofen. Parsetamol adalah pilihan yang lebih baik, karena tidak begitu menganggu lambung.

8 Referensi
Tim Editorial HonestDocs berkomitmen untuk memberikan informasi yang akurat kepada pembaca kami. Kami bekerja dengan dokter dan praktisi kesehatan serta menggunakan sumber yang dapat dipercaya dari institusi terkait. Anda dapat mempelajari lebih lanjut tentang proses editorial kami di sini.

Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.

Terima kasih sudah membaca. Seberapa bermanfaat informasi ini bagi Anda?
(1 Tidak bermanfaat / 5 Sangat bermanfaat)

Buka di app