Memahami Spermatokel

Dipublish tanggal: Agu 24, 2019 Update terakhir: Okt 12, 2020 Tinjau pada Mar 15, 2020 Waktu baca: 2 menit
Memahami Spermatokel

Spermatokel sendiri merupakan kista yang terbentuk pada epididymis. Epididimis adalah tabung kecil di bagian atas testikel. Fungsinya adalah mengumpulkan serta menyalurkan sperma. Kista tersebut berisikan cairan yang bening, yang kemungkinan mengandung sperma. 

Spermatokel biasanya jinak dan tidak menimbulkan nyeri. Keadaan ini juga dikenal sebagai kista spermatik atau kista epididimis.

Spermatokel tidak ada hubungannya dengan kesuburan pria. Namun, ukuran spermatokel yang cukup besar dapat mempengaruhi jumlah serta kualitas sperma. 

Ketahui gejala Spermatokel

Spermatokel biasanya tidak menyebabkan gejala apa pun jika tidak membesar. Tetapi, penderita akan merasakan benjolan kecil yan padat di atas atau di belakang testikel. 

Jika spermatokel besar, penderita biasanya akan merasa nyeri yang disertai dengan sensasi berat dan penuh pada testis yang terdapat kista.

Penyebab dan faktor dari Spermatokel

Spermatokel terjadi sebagai akibat dari penumpukan sperma yang ada pada epididimis. Tetapi belum diketahui asal-usul penumpukan tersebut. Pada banyak kasus, keadaan ini terjadi dengan spontan tanpa diawali dengan cedera, infeksi, atau peradangan

Spermatokel biasanya diderita oleh pria yang berumur 40 tahun.

Diagnosa pada Spermatokel

Diagnosa spermatokel bisa diketahui lewat pemeriksaan fisik. Caranya dengan meraba skrotum atau kantung testis guna mencari lokasi yang keras atau nyeri bila disentuh. Jika perlu, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, contohnya:

  • Transiluminasi. Dilakukan melalui cara menembakkan cahaya ke skrotum, guna melihat apakah benjolan berisi cairan atau benjolan padat.
  • USG testis. USG testis akan dilaksanakan jika transiluminasi tidak dapat memastikan karakteristik dari benjolan tersebut. Dengan memanfaatkan gelombang suara berfrekuensi tinggi, dokter bisa mengetahui struktur benjolan yang terletak pada skrotum.

Penanganan Spermatokel

Walaupun tidak bisa hilang dengan sendirinya, spermatokel sebetulnya tidak perlu diberi tindakan medis. Hanya saja jika spermatokel kemudian membesar dan menimbulkan rasa sakit, maka dokter akan memberikan obat pereda nyeri, contohnya paracetamol atau ibuprofen

Pengobatan lain yang bisa diterapkan antara lain:

Spermatocelectomy

Spermatocelectomy dilakukan dengan cara menyayat skrotum guna mengangkat spermatokel dari epididimis, setelah sebelumnya diberi bius lokal atau bius total. Tergantung pada keadaan pasien, dokter dapat mengangkat spermatokel sebagian atau seluruh bagian dari epididimis. 

Jika operasi dilaksanakan dengan bius lokal, pasien dapat langsung pulang. Kemudian mengkompres area skrotum dengan es agar pembengkakan bisa berkurang. Dilanjutkan dengan mengonsumsi obat pereda nyeri. 

Pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan antara 1 sampai 3 minggu setelah operasi.

Aspirasi cairan

Aspirasi atau sedot cairan menggunakan jarum khusus yang dimasukkan ke dalam skrotum guna menyedot cairan spermatokel. Pada kasus spermatokel kambuhan, dokter akan melakukan aspirasi disertai dengan skleroterapi. 

Skleroterapi merupakan tindakan penyuntikan cairan kimia ke spermatokel. Ini akan membentuk jaringan parut yang kemudian mencegah spermatokel untuk kembali terbentuk.

Komplikasi Spermatokel

Komplikasi biasanya terjadi setelah operasi yaitu cedera pada epididimis atau cedera pada tabung penyalur sperma ke penis. Cedera di kedua bagian tersebut bisa mengakibatkan gangguan pada kesuburan. 

Disamping itu, spermatokel bisa kambuh kembali setelah operasi, walau jarang sekali terjadi.

Upaya pencegahan Spermatokel

Walaupun tidak ada cara agar tidak terjadi spermatokel, tapi penting untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri dan rutin pada skrotum, setidaknya sebulan satu kali. Pemeriksaan bisa dilakukan dengan cara berdiri di depan cermin kemudian meraba skrotum. 

Jika dirasa ada kelainan, sebaiknya segera periksa ke dokter agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


4 Referensi
Tim Editorial HonestDocs berkomitmen untuk memberikan informasi yang akurat kepada pembaca kami. Kami bekerja dengan dokter dan praktisi kesehatan serta menggunakan sumber yang dapat dipercaya dari institusi terkait. Anda dapat mempelajari lebih lanjut tentang proses editorial kami di sini.

Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.

Terima kasih sudah membaca. Seberapa bermanfaat informasi ini bagi Anda?
(1 Tidak bermanfaat / 5 Sangat bermanfaat)

Buka di app